Jumat, 31 Agustus 2012

KURT KOFFKA ( GESTALT THEORY )

  1. BIOGRAFI
Kurt Koffka lahir di Berlin, 18 Maret 1886. Ia adalah seorang psikolog Jerman . Ia dilahirkan dan dididik di Berlin. Menerima gelar PhD di sana pada tahun 1909 sebagai mahasiswa Carl Stumpf . Selain studinya di Berlin, Koffka juga menghabiskan satu tahun di Universitas Edinburgh di Skotlandia di mana ia mengembangkan kefasihan kuat dalam bahasa Inggris, keterampilan yang kemudian disajikan dengan baik dalam usahanya untuk menyebarkan psikologi Gestalt di luar batas Jerman. Koffka sudah bekerja di University of Frankfurt sebagai asisten riset dari F. Schurmann ketika Max Wertheimer dan Kohler tiba pada tahun 1910 dan Koffka diundang untuk berpartisipasi sebagai subjek dalam penelitiannya terhadap fenomena phi .
Koffka meninggalkan Frankfurt tahun 1912 untuk mengambil posisi di University of Giessen, empat puluh mil dari Frankfurt, di mana dia menjadi Guru Besar luar biasa pada tahun 1918 sampai tahun 1924. Koffka kemudian melanjutkan perjalanan ke Amerika Serikat, di mana ia menjadi profesor tamu di Universitas Cornell 1924-1925, dan dua tahun kemudian di University of Wisconsin-Madison . Akhirnya, pada tahun 1927, ia menerima posisi di Smith College di Northampton, Massachusetts, dimana dia tinggal sampai kematiannya pada 22 Nopember 1941.
Pada 1909, Koffka menikah dengan Mira Klein, yang merupakan subjek eksperimental dalam penelitian Koffka’s. Mereka tetap menikah sampai tahun 1923 saat ia bercerai dan menikah dengan Elisabeth Klein Ahlgrimm yang baru saja selesai Ph.D nya di Giessen. Namun, mereka bercerai pada tahun yang sama, dan Koffka Klein menikah lagi.
  1. TEORI  KOFFKA
Istilah “Gestalt” merupakan istilah bahasa Jerman yang sukar dicari terjemahannya dalam bahasa-bahasa lain. Arti Gestalt bisa bermacam-macam sekali, yakni “form”, “shape” (dalam bahasa Inggris) yang bisa berarti bentuk, hal, peristiwa, hakekat, esensi, atau totalitas. Terjemah Gestalt dalam bahasa Inggris pun sangat banyak seperti “Shape Psychology”, “Configurationism”, “Whole Psychology” dan lain sebagainya. Karena banyaknya arti yang berbeda, maka para sarjana di dunia akhirnya memutuskan untuk memakai istilah “Gestalt” tanpa diterjemahkan dalam bahasa manapun.
Psikologi Gestalt mempelajari suatu  gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dan data-data dalam psikologi gestalt disebut sebagai phenomena (gejala). Prinsip mempelajari Gestalt sebagai totalitas dikemukakan pertama kalinya oleh CRISTIAN VON EHRENFELS, tokoh yang merangsang timbulnya aliran ini pada tahun 1890 dalam eksperimennya mengenai musik. Phenomena adalah data yang paling dasar bagi psikologi Gestalt. Apa yang dialami seseorang adalah pengalaman phenomenal. Dalam  hal ini, psikologi Gestalt sependapat dengan filsafat phenomenologi yang mengatakan bahwa pengalaman haruslah dilihat secara netral, tidak dipenuhi oleh apapun. Di dalam phenomena kita harus selalu melihat adanya dua unsur, yakni obyek dan arti.
Menurut Koffka, Gestalt adalah pertemuan gejala-gejala yang tiap-tiap anggotanya hanya mempunyai sifat atau watak dalam hubungannya dengan  bagian-bagiannya, sehingga menjadi suatu kesatuan yang mengandung arti, dan tiap-tiap bagian mendapat arti dari keseluruhan itu. Yang primer adalah gestalt, bukan bagian-bagian. Bagian-bagian itu sendiri tidak ada. Artinya dalam gestalt, tidak mungkin bagian-bagian itu berdiri sendiri.
Setiap orang mungkin telah mengalami betapa berbedanya suatu obyek atau peristiwa yang tampak atau terjadi pada latar belakang yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kita tidak mem-persepsi obyek sebagai unsur-unsur yang berdiri sendiri. Karena kita berkecenderungan untuk melihat segala sesuatu di dalam suatu totalitas yang tersusun, kita selalu memvisualisirnya di dalam suatu konteks atau letak beradanya. Dan konteks total atau latar belakang tempat bermunculnya stimulus tertentu  akan mempengaruhi persepsi kita pada stimulus-stimulus tersebut.
Kalau anda berdiri di stasiun kereta api dan pada waktu itu ada kereta api yang sedang  bergerak meninggalkan stasiun, tidaklah timbul pertanyaan dalam pikiran anda bahwa anda tetap berdiri dan kereta api sedang bergerak. Tetapi, kalau anda berada di dalam kereta api dan melihat kereta api lain melalui jendela, anda akan mengira bahwa kereta  api anda bergerak ketika kereta api lain tersebut berangkat meninggalkan stasiun. Salah pengiraan anda tersebut disebabkan karena adanya frame  of  reference / kerangka acuan yang asing ketika anda duduk di dalam kereta api dibandingkan dengan ketika anda berdiri di lantai stasiun.
Para pengikut aliran Gestalt menyatakan bahwa dalam persepsi, kita cenderung untuk menyusun stimulus-stimulus sepanjang  garis tendensi-tendensi alamiah tertentu yang mungkin berkaitan dengan fungsi menyusun dan meng-kelompok-kelompokkan yang terdapat di dalam otak. Di antara psikolog masa kini berpendapat bahwa apa yang disebut “tendensi-tendensi alamiah” ini  adalah hasil dari pengalaman yang dipelajari. Dari manapun asal-usulnya, semua sependapat  bahwa tendensi-tendensi tersebut ada dan mengikuti pola-pola yang hampir bersifat universal.
Untuk memudahkan telaah, tendensi-tendensi ini digolongkan menjadi empat faktor :
  1. 1.      Similaritas
Obyek-obyek yang sama ukuran, benntuk atau kualitasnya besar kemungkinan dipandang sebagai suatu kelompok atau pola daripada sebagai unsur-unsur yang tidak serupa.
  1. 2.      Proksimitas
Obyek-obyek yang saling berdekatan cenderung untuk dikelompokkan di dalam persepsi kita.
  1. 3.      Kontinuitas
Mmelukiskan oposisi alamiah kita untuk merusak arus yang terus-menerus  daripada garis, atau pola di dalam kesadaran kita.
  1. 4.      Closure
Tendensi menyusun untuk melengkapi pola yang belum lengkap.
Koffka percaya bahwa sebagian besar belajar awal adalah apa yang disebut sebagai “belajar sensorimotor” yang merupakan jenis pembelajaran yang terjadi setelah konsekuensinya. Sebagai contoh, seorang anak yang menyentuh kompor panas akan belajar untuk tidak menyentuh lagi. Koffka juga percaya bahwa banyak pembelajaran terjadi melalui peniruan, meskipun ia berpendapat bahwa tidak penting untuk memahami bagaimana imitasi bekerja, melainkan untuk mengakui bahwa itu adalah kejadian alam. Menurut Koffka, jenis tertinggi dari belajar adalah pembelajaran ideasional, yang membuat penggunaan bahasa. Koffka mencatat bahwa saat yang penting dalam pembangunan anak adalah ketika mereka memahami bahwa benda memiliki nama.
Teori Koffka tentang belajar didasarkan pada anggapan bahwa belajar, sebagaimana tingkah laku lainnya pula, dapat diterangkan dengan prinsip-prinsip organisasi dari psikologi Gestalt. Beberapa teori Kooffka tentang belajar antara lain :
1)      Salah satu faktor yang penting dalam belajar adalah jejak-jejak ingatan atau “memory traces”, yaitu pengalaman-pengalaman yang membekas pada tempat-tempat tertentu di otak. Jejak-jejak ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip Gestalt dan akan dimunculkan saat kita mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan jejak-jejak ingatan tadi.
2)      Perubahan-perubahan yang terjadi pada ingatan bersamaan dengan jalannya waktu tidak melemahkan jejak-jejak ingatan itu ( dengan perkataan lain tidak menyebabbkan terjadinya lupa ), melainkan menyebabkan perubahan jejak, karena jejak ingatan itu cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt yang lebih baik dalam ingatan.
Gambar kucing
Detail-detail sedikit demi sedikit hilang sedang kontras-kontras diperkecil. Dengan  demikian, sebuah ceritera yang panjang dan berkelit-kelit, setelah beberapa  saat akan  diingat di bagian-bagian tertentu saja dan bagian-bagian yang kurang baik dan kurang sempurna akan dirubah sehingga lebih mendekati Gestalt yang lebih sempurna. Dengan demikian, ceritera yang asli bisa berubah setelah beberapa saat.
3)      Latihan-latihan akan bisa memperkuat jejak ingatan.
  1. KARYA-KARYA KOFFKA
Nampaknya memang sudah ada pembagian tugas antara tiga serangkai tokoh Gestalt ini : Wertheimer adalah tokoh yang mengemukakan ide-ide, Kohler yang mengadakan eksperimen-eksperimen dari ide-ide tersebut dan Koffka yang menulis teori-teori Wertheimer maupun hasil eksperimen-eksperimen Kohler.
Sumbangan Koffka kepada psikologi adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, dari mulai persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial.
Sebagai penulis yang produktif, Koffka mengemukakan pikiran-pikirannya tentang psikologi Gestalt dalam berbagai publikasinya.
  • Pada tahun 1923, ia mulai menerbitkan jilid pertama dari buku “Contribution to Gestalt Psychology” yang seluruhnya terdiri dari 25 jilid.
  • Pada tahun 1915, dalam bukunya “Fundamentals of the psychology of perception : a debate with v. Berusi.” Koffka menjawab kritik-kritik yang ditujukan kepada psikologi Gestalt.
  • Pada tahun 1921, dalam bukunya “Principle of Psychological Development : an  introduction to child psychology” untuk pertama kalinya Koffka mengamalkan prinsip-prinsip Gestalt pada psikologi anak. Ia percaya bahwa proses perkembangan pada hakekatnya adalah hasil interaksi antara kondisi-kondisi internal dan eksternal (hipotese konvergensi) dan terdiri dari diferensiasi yang terus-menerus dari pengalaman-pengalaman yang semula kabur.
  • Buku “Principles of Gestalt Psychology” yang terbit pada tahun 1935 adalah usaha yang paling komprehensif  dari  Koffka dalam mempersatukan dan menajikan pelbagai hasil riset psikologi Gestalt, termasuk karya-karya Kurt Lewin.

REFERENSI
ü  Koffka, Kurt, “Gale Encyclopedia of Psychology”, 2nd ed. Gale Group, 2001.
ü  Wirawan Sarwono, Sarlito, “Berkenalan Dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi”. Bulan Bintang:Jakarta, 1977.
ü  Mahmud, Dimyati, “PSIKOLOGI Suatu Pengantar”. BPFE Yogyakarta:Yogyakarta, 1990.
ü  Ahmadi, Abu, “Psikologi Umum”. PT.Bina Ilmu:Surabaya.
ü  Sujanto, Agus, “Psikologi Umum”. Bumi Aksara:Jakarta, 1993.
ü  Sartre, Jean-Paul, “Psikologi Imajinasi”, Yayasan Bintang Budaya:Yogyakarta, 2000.

http://variedzzz.wordpress.com/2011/05/10/gestalt-theory/

Senin, 27 Agustus 2012

9 Manfaat Sebuah Senyuma



Tersenyum (smiles) lebih dari sekedar ungkapan rasa senang dan bahagia. Setiap orang pasti pernah tersenyum, ketika sendiri maupun berada dalam lingkungan sosial, namun bukan hanya memberi sinyal bahwa mereka bahagia, jauh dari itu. Kita tersenyum untuk tujuan sosial tertentu, karena dapat mengirimkan segala macam ‘sinyal’ yang dapat berguna untuk orang lain. Berikut ini adalah 9 manfaat sebuah senyuman yang dapat kita gunakan untuk mengirimkan pesan tentang kepercayaan (trustworthiness), keramahan (attractivity) dan banyak lagi. Mari kita simak ;

1. Membuat orang lain untuk mempercayai Anda
Dalam sebuah lingkungan, di mana semua orang mudah berbohong, siapa yang harus kita percaya? Salah satu ‘sinyal’ yang menunjukkan kita dapat dipercaya orang lain adalah tersenyum. Senyum yang tulus dapat mengirim pesan bahwa orang lain bisa percaya dan bekerja sama dengan kita. Orang yang tersenyum dinilai lebih tinggi kemurahan hatinya, dan ketika orang berbagi satu sama lain mereka cenderung menampilkan senyum yang tulus (Mehu et al., 2007).
Para ekonom bahkan menganggap bahwa senyum memiliki nilai. Dalam satu studi oleh Scharlemann dkk (2001), subjek penelitian cenderung mempercayai orang lain jika mereka tersenyum. Studi ini menemukan bahwa tersenyum berpengaruh pada tingkat kepercayaan kepada orang lain sekitar 10%.
2. Senyum meringankan ‘hukuman’
Ketika orang melakukan hal-hal buruk mereka sering tersenyum. Ketika anda ditilang pak polisi di jalan bagaimana ekspresi anda? Kemungkinannya ada dua, tersenyum dan ketakutan. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh LaFrance dan Hecht (1995), menunjukkan bahwa orang-orang yang melanggar aturan, mereka tersenyum setelah tertangkap basah. Tidak peduli apakah itu senyum palsu, senyum sedih atau senyuman tulus. senyuman ini cukup berguna karena kita lebih dapat dipercaya daripada mereka yang tidak tersenyum. Alhasil, orang yang mendapati kesalahan anda, akan lebih mudah memaafkan jika anda tersenyum.
3. Pembelaan diri dari sosial slip-up
Pembelaan diri dari sosial slip-up, istilah kerennya “Ngeles” karena malu. Ya, senyuman dapat berguna ketika anda sedang ngeles dan malu. Coba ingat-ingat ketika kamu lupa janji dengan pacar kamu? Apa yang anda lakukan ketika secara tidak sengaja menendang seorang anak kecil? Atau ketika anda telah tersandung kulit pisang didepan banyak orang? pasti tersenyum bukan?
Rasa malu dan senyuman berfungi untuk keluar dari sebuah lingkungan sosial yang menekan (Keltner & Buswell, 1997). Senyum karena malu yang kadang disertai tawa kecil bermanfaat menyadarkan diri kita untuk melihat sebuah kesalahan. Tidak hanya itu, senyuman juga bermanfaat agar dimaafkan kesalahan yang kita lakukan tersebut.
4. Tersenyum karena takut merasa buruk
Kadang-kadang kita tersenyum karena itu dianggap sebagai kesopanan, sehingga kita dapat menghindari perasaan buruk orang lain terhadap kita. Dalam sebuah studi (LaFrance, 1997), orang diminta untuk tetap diam membatu ketika mendengar orang lain mendapatkan kabar baik, mereka merasa tidak enak kalau tidak tersenyum dan merasa orang lain akan berpikir buruk tentang dirinya jika tidak tersenyum. Jadi, tersenyum untuk kebaikan orang lain tidak ada salahnya bukan!? Karena jika anda tidak tersenyum maka anda akan dianggap tidak berperasaan, hehe..
5. Tersenyum saat menderita
Tersenyum adalah salah satu cara untuk mengurangi penderitaan yang disebabkan oleh situasi yang menjengkelkan. Psikolog menyebutnya facial feedback hypothesis. Memaksa tersenyum ketika kita merasa tertekan sudah cukup untuk mengangkat suasana hati kita, meskipun sedikit.
Tapi harus diingat, tersenyum terhadap situasi mengecewakan mungkin berguna bagi kondisi internal anda, tetapi hal ini tidak terlihat oleh orang lain. Penelitian Ansfield (2007) menunjukkan subjek penelitian yang melihat video menyedihkan, merasa lebih baik ketika mereka tersenyum daripada mereka yang tidak. Tetapi, orang-orang yang tersenyum melihat gambar yang menyedihkan dinilai kurang baik oleh orang lain.
6. Tersenyum untuk pesona seksual
Senyum perempuan memiliki efek magis pada pria, lebih dari sekedar kontak mata. Sebuah studi menunjukkan bagaimana pria mendekati perempuan di sebuah bar (Walsh & Hewitt, 1985). Ketika seorang wanita hanya menjalin kontak mata dengan seorang pria, keberhasilan dia didekati hanya 20% dari waktu yang dibutuhkan. Namun, ketika wanita yang sama menambahkan sebuah senyuman, pria mendekati lebih cepat 60% dari waktu tersebut.
Tersenyum meningkatkan daya tarik perempuan terhadap pria, namun tidak sebaliknya. Ketika laki-laki tersenyum pada wanita, efeknya kurang magis. Karena ada beberapa pria terlihat lebih keren bagi wanita saat diam atau bahkan malu, daripada ketika mereka terlihat senyum dan senang (Tracy & Beall, 2011). Mengurangi senyuman membuat seorang pria terlihat lebih maskulin.
7. Menyembunyikan sesuatu yang anda pikirkan
Senyum yang tulus tidak pernah berbohong. Sedangkan senyum palsu melibatkan mulut, sedangkan senyum yang tulus ‘menyebar’ hingga mata. Meskipun begitu, senyuman dapat digunakan untuk menyembunyikan apa yang kita pikirkan, tapi tidak mudah melakukan senyum palsu. Agar senyuman anda dapat dipercaya usahakan senyuman tersebut menyebar di seluruh wajah dan buat mata anda sedikit berbinar. Sulit? untuk yang satu ini anda perlu berlatih.
8. Senyum untuk menghasilkan uang
Kita sudah melihat bahwa ekonom telah menghitung nilai sebuah senyuman, tapi apakah tersenyum membuat kita mendapatkan uang? Tidd dan Lockard (1978) menemukan pelayan (pramusaji) yang tersenyum diberikan tip lebih banyak daripada yang tidak. Secara umum, dalam industri jasa, seperti pramugari atau pekerja hiburan dan perhotelan secara nyata dibayar karena tersenyum kepada pelanggan. Tapi, hati-hati, Psikolog menyebutkan ketidaksesuaian antara senyum tulus dan tidak, dapat menyebabkan fisik kelelahan saat bekerja. Jadi, senyum memang bisa menghasilkan uang, tetapi juga dapat menimbulkan “sengsara”.
9. Tersenyum dan (setengah) dunia tersenyum dengan Anda
Salah satu kebahagiaan dalam kehidupan sosial adalah ketika anda tersenyum pada seseorang dan mereka tersenyum kembali. Meskipun, tidak semua orang tersenyum kembali. Penelitian Hinsz dan Tomhave (1991) melihat berapa proporsi orang akan menanggapi sebuah senyuman. Hasilnya menunjukkan sekitar 50% orang membalas. Sebagai perbandingan, hampir tidak ada yang orang menanggapi sebuah senyuman dengan kerutan dahi.
Sekarang ada mengerti alasan untuk tersenyum. Jadi tersenyumlah sebelum senyum itu dilarang!!